Selasa, 25 Januari 2011

SEBUAH PENANTIAN

(Andika Widaswara)


/1/
“Annndddiiiiiiiiiiiiii… ngapain kamu masih disitu? Sini, bantu Bapak menggulung jala!”
Teriakan bapak mengoyak lamunan yang kubangun pada sosok itu. Sosok wanita aneh yang duduk di atas batu karang beberapa meter di depanku. Diam. Tanpa aktivitas. Rambut panjang menutupi punggungnya, sesekali berkibas digerakkan angin. Pandangannya jauh, menuju laut lepas.
“Andiiiiii… cepatlah hari mau hujan!”
“Ya, pak.” Teriakan bapak kali ini labih nyaring dari sebelumnya. Memaksaku untuk meninggalkan lamunan. Menjauh dari sosok itu. Tak begitu rela memang, untuk melangkahkan kaki meninggalkan wanita itu, menghampiri bapak.
“Siapa orang itu, Pak?”
“Entahlah, orang berlibur mungkin. Ayo cepat bantu Bapak, tuh langit udah gelap.”
“Ya pak…”
Aku menghambur pada pekerjaan bapak. Sesekali mataku masih mengamati sosok di pinggir pantai itu. Hari sudah petang, langit juga. Sebentar lagi akan turun hujan. Lalu? Kenapa orang itu masih disitu? Apa yang dilakukannya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi ruang pikirku. Ingin sekali aku mencari jawab dari semua itu. Tapi aku yakin bapak tak akan mengijinkan. Sebentar-sebentar kupandangi bapak, yang sangat sibuk menggulung jala. Ingin sekali kutanyakan padanya, tapi segera kuurungkan.
“Mungkin dia orang kota, yang sedang berlibur disini.” Suara bapak sedikit mengagetkanku, mungkin dia tahu apa yang kupikirkan dari gerak tubuhku.
“Sudahlah bukan urusan kita. Ayo kita pulang, pasti Emakmu sudah menunggu.” Berat sekali melangkahkan kaki meninggalkan tempat ini. Bukan karena eksotika senja, tetapi murni karena sosok itu. Sosok yang telah menyita pikiranku untuk memikirkan pikirannya. Bapak berlalu beberapa langkah di depanku. Sebentar-sebentar masih kutengok sosok itu. Masih duduk di tempat tadi, belum beranjak, belum pula melakukan perubahan aktivitas.

Malam datang. Langit mengeluarkan cahaya-cahaya berkelap-kelip sebagai petanda akan memuntahkan air dalam kuantitas besar. Lidah cahaya menjulur panjang ke arah bumi. Langit tua. Sesekali petir menyambar. Dan benar, hujan deras turun tanpa ampun menikam-nikam bumi. Angin ribut. Pasangan serasi untuk membangun suasana yang mencekam. Pikiranku segera berlayar mengakrabi sosok di pantai itu. Seorang wanita. Jelaga malam. Deras hujan. Bagaimana dengannya? Masihkah ia di sana dalam keadaan seperti ini?
Tempat tinggalku sebuah desa di tepi pantai, desa terpencil lebih tepatnya. Sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya pada laut, segala hasil dari laut. Tak terkecuali bapak. Tiap pagi bapak berlayar mencari ikan, lalu menjadi tugas emak untuk menjual ikan hasil tangkapan ke pasar. Pun karena terpencil penerangan di desaku masih menggunakan jasa lampu teplok. Jangankan listrik, lampu petromag baru dimiliki oleh sebagian orang. Tiap musim kampanye banyak orang-orang berpakaian parlente dan mobil-mobil mewah datang. Mungkin mereka dari rombongan tukang jamu. Mereka menjanjikan segala perbaikan fasilitas bagi kemajuan desa. Tetapi berkali-kali musim kampanye berganti, keadaan desa belum juga berubah.
Pagi. Mentari masih sembunyi. Sisa-sisa amukan semesta semalam langsung mengakrabi pandang. Disana-sini banyak pohon roboh. Orang kampung sibuk membersihkan jalan. Beberapa orang mengumpulkan potongan-potongan pohon tumbang untuk tandon bahan bakar. Rupanya, berbeda dengan bapak. Bapak sudah berangkat melaut. Bahkan sebelum aku membuka mata. Kata orang-orang yang telah lama mengggantungkan harapan hidup kepada laut, ikan banyak yang menepi pasca kejadian seperti semalam. Ingin segera kususul bapak ke pantai. Bukan untuk melihat sembulan mentari dari balik mega, bukan pula untuk menyaksikan efek hujan semalam. Terlebih untuk membantu bapak. Tapi murni karena sosok itu. Sosok yang telah menyita pikiranku. Aku berharap ia tak lagi disana. Tapi rasa keingintahuan dan penasaranku padanya tak cukup hanya dengan memikirkannya. Aku ingin mataku sendiri yang mengabarkan berita itu pada hati. Tanpa perantara!
Segera saja kuakrabi pantai. Tujuanku adalah sosok wanita itu. Jantungku berdetak lebih keras, lebih cepat, begitu pasir pantai menyapa kaki. Sosok wanita itu masih disitu. Di tonjolan karang itu. Tetap. Tak bergeser. Pun aku belum mampu mengintip wajahnya. Ia masih menghadap laut. Rambutnya menutupi sebagian wajah yang semestinya bisa kusaksikan dari samping. Aku mendekat. Antara takut dan sangsi. Tapi rasa penasaranku telah menyisihkan itu. Tepat lima meter sosok wanita itu ada di hadapanku. Aku berharap ia mengetahui kedatanganku, menyapa, dan bercerita. Entah itu tentang apa. Aku sangat ingin tahu isi pikirannya, setidaknya tentang alasannya berada disitu. Tapi apa lakuku? Tak habisnya seperti patung yang senantiasa diam, bahkan ketika diberodong kata-kata kotor sekalipun. Berkali ingin bertanya, tapi tak keluar juga. Entahlah, mulutku seperti terkunci. Dan aku benci dengan keadaan ini. Tak banyak yang bisa kulakukan, selain menunggu momen itu, momen dimana ia merasakan hadirku. Saat aku tak mampu merealisasikan keinginanku untuk bertanya, harapan itu tinggalah ia. Ia yang akan menceritakan sendiri. Namun berharap pada situasi seperti ini kuyakini adalah tindakan bodoh, meskipun tindakan itu juga tetap kupilih.

/2/
Sore. Pekerjaan rumah yang dibebankan padaku sengaja kuselesaikan lebih cepat. Tak ada alasan lain. Dua hari ini aku tak menikmatinya. Pikiranku tak berada disitu. Jika dinilai, mungkin hasil pekerjaanku tak pantas mendapatkan angka 6. Pantai, sosok wanita, sendiri. Kayaknya hanya itu yang menyesaki pikiran saat ini. Seperti yang kudapati kini. Sebuah senja, pantai yang berombak besar, batu karang menjorok, wanita berambut panjang, kesendirian. Kali ini sosok wanita itu sibuk menggores-gores sesuatu pada kanvas di depannya. Darimana ia mendapatkan itu? Mungkinkah ia pulang saat aku membereskan pekerjaan rumah? Atau mungkin ada penjual kanvas yang berkeliling tadi siang karena pantai ini tiba-tiba menjadi ramai? Banyak turis asing yang berjemur dan pelukis-pelukis keliling telah menjadi pekerjaan tetap yang membuat penduduk kampung meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan? Atau sosok itu adalah bintang teve yang ternyata sering kulihat di koran-koran bekas pembungkus tempe? Ah, rupanya aku terlibat pada pertengkaran pikiran dengan hati. Terjebak pada situasi menerka-nerka sesuatu yang tak pasti. Dan itu menyiksaku. Merasa tak sanggup lagi menahan beban pikiran aku putuskan untuk mendekatinya. Kubawakan sepiring makanan yang kuambil dari jatah makanku hari ini. Aku berharap ia mau memakannya. Ia bukan siapa-siapa bagiku, juga tak sedikitpun aku mengenalnya. Aneh memang, jika pikiranku selalu mengajak untuk memikirkannya. Tapi ia? Sosok itu. Apakah juga memikirkan dirinya sendiri?
“Mbak… ini kubawakan makanan buat mbak…” Masih diam. Tak bergeser. Hanya tanganya yang beraktivitas. Meliuk-liuk seperti penari di sebuah kelab malam. Mungkin wanita ini adalah penganut setia dari sebuah pepatah “lebih baik banyak bekerja daripada banyak bicara”.
“Hmmm… lukisan yang bagus.” Kali ini kugunakan strategi yang sangat mendasar tapi penting. Memuji untuk mendapatkan tanggapan! Padahal tak sedikitpun aku bisa mengintip lukisannya. Apalagi menilai sebuah lukisan. Ah, semoga aku kelihatan cukup pintar di pikirannya.
“Aku tak bisa melukis…” Pecah. Suara alam diam. Memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada sang Ratu.
“Lalu? Sekedar pengisi waktukah?” Ia bergeser. Kali pertama aku bisa melihat parasnya. Ayu. Sendu. Matanya dalam. Rambut panjang yang dibiarkan menari dibawa angin.
“Kenapa kau kesini?”
“Karena Mbak…”
“Maksudmu?”
“Sebab, Mbak sangat menarik perhatianku.”
“Sebegitu menarikkah hingga sejak kemarin kau selalu kesini?”
“Begitulah kiranya…” Lama, tak ada kata lagi. Ia larut lagi dalam kanvasnya. Memaksaku untuk lebih mendekat.
“Mbak melukis siapa?”
“Kamu tahu lelaki yang seminggu lalu berkunjung kesini?”
“Bukankah, Mbaknya melukis seorang wanita?” Diam. Wanita itu tak menjawab tanyaku. Mungkin ia tak suka denganku yang sok tahu. Atau tak suka dengan lakuku yang membalas tanya dengan tanya.
“Dua lelaki yang mati tempo hari karena terseret ombak?”
“Salah satunya kekasihku.” Riuh. Suara alam menandakan hari menjelang petang. Pertukaran estafet tugas dari pengisi waktu senja kepada pengisi waktu malam. Ramai. Layaknya para buruh yang keluar masuk pabrik karena pergantian shift.
“Untuk diakah Mbaknya ada disini?”
“Aku menunggunya…”
“Menunggu orang yang telah mati?”
“Kau tahu dia sudah mati? Kau temukan mayatnyakah?”
“Tapi, siapa yang bisa bertahan hidup di tengah samudra yang ombaknya seperti ini, Mbak?”
“Kau, begitu juga aku bukanlah pencipta takdir. Pulanglah, hari menjelang malam. Bawa makananmu.”
“Aku tak pulang jika Mbak tak pulang.”
“Siapa kau? Apa pedulimu?”
“Aku peduli sama, Mbak.”
“Aku menunggu kekasihku pulang. Tak ada gunanya kamu disini. Menggangu!” Matanya menikam, alisnya menyatu. Ketus. Kata-katanya menusuk hati. Ia menjadi sangat kejam.
“Tapi mbak…”
“Sudahlah, aku tak mau ngobrol lagi denganmu. Kau telah menyita waktuku untuk melukis, untk kekasihku.” Tak ada pilihan lain bagiku. Anjuranku tak digubrisnya. Kehadiranku tak diharapkanya. Mungkin ia tak tahu, jika aku hanya ingin memposisikan diri sebagai makhluk sosial yang berkewajiban membantu sesama. Entah itu membantu dengan cara apa. Mungkin pula, ia tak mau melibatkan emosiku dengannya.
“Rumahku di ujung jalan ini, tepat di pertigaan Mbak… akan sangat membahagiakan jika Mbaknya sudi berkunjung.” Nihil. Wanita itu tetap saja diam. Hanya tangannya yang sibuk menari di atas kanvas. Wanita misterius, semisteri langit petang.

/3/
Pagi. Langit dipenuhi mendung, murung. Menggoda setiap orang untuk kembali memancal selimut dan melupakan segala aktivitas. Sempurna sebagai alasan bagi para pemalas. Mendung pagi ini tetap memaksaku untuk bergegas. Menuruti lajunya pikiran. Benar, pantai adalah sebuah tujuan. Membantu bapak menyiapkan perahu dan jala sebagai alasan. Tapi lebih dari itu, adalah wanita misterius di pantai itulah tujuanku. Pikiranku masih terbawa olehnya, juga sampai sekarang ini. Begitu bapak berangkat melaut segera kuikuti alur rasa penasaran itu. Kaget. Tersentak. Begitu tak kutemui sosok wanita misterius itu di tempat biasanya. Mataku segera menyapu sekeliling. Kosong. Antara rasa penasaran dan was-was kudekati karang yang selama dua hari telah menjadi pesanggrahan bagi wanita misterius itu. Kanvas yang terbalik, kuas yang agak menjauh, dan bintik-bintik tumpahan cat tercecer di sana-sini. Kubalik lukisan itu. Jelas. Baru sekarang kulihat jelas. Deskripsi lengkap. Seperti sebuah cerita. Sebuah lukisan dengan background pantai, dengan seorang wanita berambut panjang tengah berjalan menuju laut lepas. Sudah berada di tengah. Seakan siap menyambut ombak bergulung yang datang hendak menjemputnya, bahkan melumatnya. Di pojok kanan ada tulisan miring, mungkin sebuah judul karena diapait tanda petik. “Menemui-mu.” Pikiranku sibuk mengembara, mengagungkan segala tanya. “Menemuimu? Lalu? Dimana wanita misterius pelukis kanvas itu? Mungkinkah ia…? Arrggghhhh…”


***SELESAI***

Selasa, 11 Januari 2011

Secuil Waktu, Sekarung Resah

Andika Widaswara

Detak... detik...
Sore. Sebuah cafe. Secangkir kopi. Menunggu.
Setengah jam berlalu. Secangkir kopi blm jua berteman. Pun denganku. Kubuka lagi sms yg dia kirim di pagi buta. Bahkan sebelum aku membuka mata. Tak banyak memang. Singkat juga padat.

"Oke, tunggu aku jam 15.30."

Terkadang sesuatu berjalan tak adil. Aku mengirim 22 sms hanya utk jawaban itu. Pun sekarang ini. Masih harus menunggu. Menghibur diri dengan menyeduh kopi yang tinggal separuh. Menghabiskan berbatang-batang rokok dan membuang asapnya jauh-jauh. Sangat ingin moment ini segera berlalu.

16.05.
Gerimis. Perempuan. Setengah berlari.

"Sory telat, udah lama nunggu?"
Klise. Seolah biasa, tanpa salah. Aku hapal dengan kalimat itu. Mestinya aku marah. Tapi untuk urusan satu ini banyak orang yang rela diperlakukan tak adil. Setengah jam lebih aku memaki-maki dia serta mengumpat-umpat pada diriku sendiri. Hilang. Seperti gerimis yang langsung menghapus jejak kaki. Menggantinya dengan air. Luluh.

Dengan segenap pengantar lengkap ia uraikan keterlambatannya. Persis calon anggota dewan yang berpidato di depan khalayak untuk menjual diri. Senyum yang selalu mengembang. Aku benci. Benci pada diriku yang masih menyajikan senyum. Bahkan senyum terindah yang pernah kumiliki. Menuruti perasaan terkadang justru menghasilkan hal-hal yang bodoh.

Untuk perempuan yang datang terlambat atas janjinya sendiri inikah aku memuja? Entahlah... banyak yang telah terjadi tanpa bisa diterima logika. Juga sekarang ini. Sosok yang kini ada di depanku. Menemuinya di alam nyata adalah hal langka, selangka hasil yang dikirim TKI kepada keluarganya di desa. Maka pertemuan pun menjadi sangat berarti bagiku. Tapi dia? Apakah juga merasakan hal yang sama? Jika harus jujur, itu bukan pertanyaan yang sulit bagiku. Tapi entahlah, aku mencoba membuat suatu pengingkaran atas jawabanku sendiri.

"Ini mbak pesanannya, masnya mau pesan lagi? Ato mau nambah kopi?"
"Boleh-boleh, mocca aja... sama roti bakarnya Bro."
"Oke mas ditunggu."
"Seep, gak pake lama ya."
"Wokey Boss."

Demikianlah, suasana kaku segera menghampiri selepas pelayan berlalu. Kami terjebak pada keadaan "susahnya mengawali sesuatu". Kuberanikan untuk mengambil inisiatif. Pertanyaan tentang kabar, rutinitas, juga aktivitas terakhir menjadi menu pembuka. Itupun kulakukan tanpa memandang matanya, juga jemari tangan yang tak henti-hentinya menari di atas keypad handphone, sekadar menyibukkan diri. Aku berharap tak kelihatan cukup gugup di hadapannya.

"Roti bakar siap dinikmati Bos."
"Wah.. hampir saja aku panggil massa untuk demo jika 5 lagi menit pesananku belum sampai."
"Hahaha... Bos bisa aja. Silakan Bos."
"Oke-oke, tengkyu..."

Bunyi langkah kaki pelayan semakin melamat. Lalu hilang ditelan bunyi gerimis.
"Oh ya, angin apa yang tiba-tiba membawamu berada disini Dev? Rasanya orang waras pun akan gila mendadak jika hanya untuk segelas Lemon Tea. Hehe..."
"Hahaha... iya ya, mungkin hatiku juga mengatakan aku gila bisa berada disini denganmu. Hehehe..."
Kami tertawa. Renyah. Susana hidup. Aku telah mengalahkan diriku untuk bisa menguasainya, menguasai keadaan.

"Aku pengen cerita..."
"Mendongeng juga boleh kok."
"Sayangnya aku bukan pendongeng yang baik."
"Jika aku sampai tertidur, kamu dinyatakan lulus sebagai pendongeng, dan berhak mendapatkan hak sesuai titel yang kau peroleh. Hehehe... Ngomong aja Dev, aku siap jadi pendengar yang baik kok."
"Yakin?"
"Seyakin pendapat orang-orang bahwa kau cantik."
"Gombal..."

Sejurus mukanya mendongak. Sekilas ada perubahan dalam rautnya. Mendung di luar perlahan menyapa wajah. Lalu tangannya sibuk mengaduk-aduk minuman yg ia pesan. Sesekali melempar senyum. Entahlah, aku malah menikmatinya. Menikmatinya sebagai kecemberutan. Sebagai mendung. Sebagai gerimis. Ah... penguasa hati selalu tampak sempurna.

Tik tak tik tak. Dengus suara nafas panjang. Menunggu. Gerimis masih ramai. Sejujurnya aku menyukai ini. Gerimis akan menahanmu lebih lama. Menahan kita. Betapa lama aku dengan harap ini.

"Pernahkah kau mendengar tentang seorang perempuan yang jatuh hati pada lelaki?"
"Wah itu sech barang murah di pasaran, seribu dapet tiga."
"Pernahkah kau tahu seorang perempuan yang menytakan cintanya pada lelaki pujaannya?"
"Nah, semalam barusan Ibuku bilang kalau mencintai Bapak dengan tulus, itu terjadi di depanku, tanpa sensor!"
"Wid, please dech... aku serius!"
"Oke-oke, sory-sory. Kali ini aku serius."

Sejenak diam. Rupanya ia sedikit marah. Sewot. Tapi apapun yang ia rasakan, ia tampakkan di depanku, bagiku adalah keindahan. Aku menikmatinya dalam keadaan apapun. Senyum, kerut, cemberut, marah, tawa selalu tampak sempurna.

"Reno, kenalkah kau dengan nama itu?"
"Hmmm... Gak asing sih, kalo aku gak salah nebak ia ada dalam friend listmu. Dan kau tak jarang menulis koment di statusnya."
"Hei... kau mengawasiku?"
"Hmmmfff... 2 tahun aku bekerja untuk CIA, Dev. Mungkin kau baru tahu."
"Hahaha... bisa aja."

Aku sempat menangkap senyumnya. Pemandangan langka nan indah. Lebih indah dari landscape yang disajikan alam sore ini.

"Entahlah... Reno telah menyita sebagian besar dari pikiranku. Mengajak lebih dari separuh waktuku untuk terus memikirkannya. Semakin kutekan, rasa itu malah semakin ada. Aku tak pernah seperti ini kepada lelaki."

Berhenti. Tanganya meraih gelas minuman yang ia pesan, memegangnya dengan mesra, membibingnya menyentuh bibir, lalu menenggak isinya. Mungkin ia merasa gerah meski gerimis. Mungkin pula tenggorokanya kering dilalui lalu lintas kata yang tak seperti biasanya. Atau dada yang memanas karena ceritanya, dan ia basuh dengan mengguyurkan minuman dingin itu, sambil berharap aku tak berpikir ke arah sana. Ah, harusnya aku tak berada pada posisi menebak-nebak. Bisa-bisa tukang ramal akan kehilangan mata pencahariannya kalau aku teruskan.

"Aku berada pada titik dimana seorang wanita menyukai lawan jenisnya. Agak terlambat memang. Tapi kini aku tahu rasanya memuja, mengharap, sakit, karena seorang lelaki. Aku baru merasakannya kini."
"Kenapa tak kau ungkapkan?"
"Aku wanita Wid, mana mungkin aku bicara? Ya kalo diterima? Kalo gak? Mau ditaruh dimana mukaku?"

Tak mau aku menimpali. Jika saja ia tahu aku juga merasakan hal yang sama kepadanya. Tak kurang dari apa yang telah diceritakannya, bahkan mungkin lebih. Ia tersiksa dengan keadaanya. Mencintai tanpa bisa mengungkapkan. Mengagumi tanpa bisa mengatakan. Aku? Mencintai orang yang mencintai orang lain. Mengejar orang yang mengejar orang lain. Parahnya orang tersebut malah mencurahkan perasaan kepada pujaanya kepadaku. Berada pada posisi dipercayai karena dicurhati, tapi juga tak bisa mengabaikan perasaan hati.

"Dev, panah tak akan menemui sasaran jika tak pernah dilepas dari busurnya, setajam apapun mata panahnya. Akan lebih baik kau katakan perasaanmu daripada tidak sama sekali. Ingat, jangan ada penyesalan di kemudian hari. Allah sangat membenci penyesalan."
"Wid, apa lelaki tak peka pada perlambang sech? Aku pikir dengan sering koment di statusnya, sms dia, kirim salam itu udah nunjukin kalau aku suka ma Reno."
"Ada banyak tipe lelaki Dev, mungkin bagi sebagian orang itu sudah mewakili apa yang ada dalam perasaanmu. Tapi sebagian yang lain?"

Ia diam. Jari telunjuknya diletakkan di mulut. Aku pun memilih hal yang sama. Diam. Atau lebih tepatnya berusaha untuk diam. Menutupi gemuruh dalam dadaku biar tak sempat ia dengarkan. Pula perang hebat dalam hatiku tak pernah ia ketahui. Dalam posisi ini, sebenarnya bisa saja aku katakan adalah hal tabu jika perempuan mengungkapkan cintanya pada lelaki. Terlebih dia. Seorang yang semasa kecil dan remajanya dihabiskan di pondok pesantren. Melalui sebagian besar waktunya dengan membaca dan mendengar ayat-ayat Allah. Tak banyak bergaul dengan remaja sebayanya yang sibuk keluar masuk salon, memborong barang-barang new arrival di mall. Setiap bulan berganti gadget, bahkan sudah indent sebelum barang beredar di pasaran. Tapi tidak.

"Dev... dalam mencapai tujuan selalu ada dua opsi, berhasil atau gagal. Kita selalu siap untuk berhasil, tapi untuk gagal?"
"Aku siap jika memang aku harus gagal..."
"Syukurlah... akan lebih berterima di hati kita jika gagal tapi kita telah berusaha. Ada kepuasan tersendiri bagi batin kita. Daripada gagal tanpa usaha? Apa kebanggaan kita? Hanya melalui bergulirnya hari dengan penyesalan. Yang tertinggal di pikiran hanya kata-kata misalkan..., andaikan..., seandainya... ahh."
"Lalu aku kudu gimana?"
"Selamat berjuang Dev. Aku tak mau mengulang penjelasan lagi. Aku tak digaji untuk mengulang materi sampe tuntas hehehe..."
"Yeeee... tapi aku bisa gak ya??"
"Tuhan ada dalam pikiran kita, Dev. So...?"
"Hehe... iya sech. Coba kalo kamu cewek. Trus ada di posisiku. Hayooo...."
"Takdirku adalah sebagai laki-laki hehehe..."

17.30
Petang menjelang. Di luar mendung masih menggumpal. Namun tak kutemui lagi di matanya, di rautnya. Ia seperti baru saja mendapat pencerahan, itu pendapatku. Semoga saja benar adanya. Gerimis tak lagi ramai. Namun masih sesekali jatuh. Gerimis yang deras justru jatuh merinai di pelataran hatiku. Aku bangga, sekaligus kecewa. Merasa berguna, sekaligus terbuang. Menjadi dewasa, sekaligus kerdil. Andai ia tahu, aku tak perlu menjadi cewek untuk merasakan yang ia rasakan. Tak perlu menjadi dirinya untuk berada di posisinya. Dan itu akan seterusnya menjadi kebisuan. Tanpa ungkapan. Sebuah ironi.

***SELESAI***

Asa Sederhana

Andika Widaswara

Aku menulis sisa-sisa dari hidup yang pernah terbingkai bersamamu. Bingkai yang kecil. Kecil sekali. Tak patut disebut sebagai sejarah bagi siapa saja. Tak pernah aku mengira jalan hidupku yang seperti ini. Aku tak sempat memilih, bahkan tak ada lagi pilihan bagiku. Semuanya terjadi begitu saja. Seperti angin, menderu kala ingin, hilang tak berbekas setelah berlalu. Cinta bagiku adalah barang antik, pemantik. Aku tak kuasa menahannya sendiri. Ruangan dada terasa sesak oleh segala rasa yang berkecamuk.

***

Pagi. Matahari belum meninggi. Sinarnya masih lembut menyentuh pori. Daun-daun bergoyang pelan mengikuti irama angin. Orang-orang sibuk berlalu lalang, entah kemana. Beraktifitas mungkin, karena pagi identik dengan aktifitas. Tetapi tidak denganku. Di sebuah beranda kuakrabi wajah yang senantiasa mengganggu ruang pikir, selalu datang dalam setiap sedu sedan, juga tawa riang. Wajah lembut, mata sayu, juga rambut jatuh yang terikat penjepit di atas bahu.

“Kamu jadi berangkat, El?”
“Yap....”
“Sudah kamu pikirkan keputusanmu itu?”
“Tak mungkin aku memutuskan sesuatu tanpa melalui pemikiran. Aku harus merubah nasib. Tak bisa aku bertahan terus dalam keadaan ini.”
”Lalu…?” Sergahku, tak sabar menunggu kelanjutan kata yang keluar dari bibir mungilnya.
“Lalu apa?”
“Bagaimana dengan aku?”
“Duniamu tetap terlalui tanpa harus ada aku yang selalu ada di dekatmu kan?
”Lalu dengan cinta kita?”
”Jangan terlalu berharap padaku Al, serahkan saja pada yang mengatur hidup.”
”Apa maksudmu, El?”
”Cinta? Ah...prioritas kesekian Al. Kehidupan terus berjalan, dan kita harus selalu mengikuti, kalau tidak ingin tertinggal olehnya.”
“Bagaimana dengan harapanku yang sedang mekar-mekarnya tumbuh? Seperti daun yang masih menguncup, menghijau. Akankah kau biarkan terpenggal dari tangkainya?”

Tik...tak...tik...tak...detik... detak... sejenak diam, aku tak sabar.
“Jawab El! Kau tak cukup hanya diam!” Aku berseru
“Aku tak melihatmu sebagai harapan, masa depan. Begitulah hidup dan biarkan mengalir seperti air, hingga kita sampai pada muara. Bukankah tak semua harapan menjadi nyata? Kita hanya bisa berencana Al.”
“Kau tega meninggalkan aku, cinta, juga harapan yang telah mengakar dalam hatiku?”
“Al, jangan memandang masalah ini hanya dari sudut pandangmu. Mengertilah aku, please!”
“Bagaimana kamu minta aku ngertiin kamu, sedang kamu…?”
“Al…sampai sekarang masih menganggur, luntang-luntung. Mana tanggung jawabku pada pada ibu yang telah susah payah mengkuliahkanku, aku malu padanya juga pada tetanggaku….”

Sejurus diam. Tak ada percakapan lagi. Sibuk melawan perang yang telah terjadi di dalam hati masing-masing. Pikiranku melayang, mengeja serpihan-serpihan kenangan yang menjadi asal muasal perkenalan kami.

***

Malam belum sepenuhnya lindap. Gerimis merintik. Gadis penjaga counter. Ya…aku mengenalnya ketika pulsaku habis saat melintas di depan rumahnya. Awalnya hanya percakapan biasa. Percakapan yang biasa dilakukan seorang penjual pulsa dengan pembeli. Gerimis telah menahanku lebih lama, hingga kami bertukar cerita. Entahlah, aku mulai menikmati matanya, senyumnya, setiap kata yang keluar dari bibirnya, juga segala yang ada dalam dirinya. Percakapan kami pun berubah menjadi renyah. Ramai, dalam gelap malam yang semula telah terbeli oleh derai gerimis. Kami tertawa, hingga suara kami berhasil mengalahkan suara gerimis. Tak pernah terbayangkan, dari pertemuan itu kami menjadi akrab. Dari saling cerita biasa, mencurahkan segala rasa penat di dada, mengeluh tentang hidup, juga tentang rasa hati yang tak bisa dipungkiri. Merajut rasa dalam gejolak remaja yang malu-malu.

Semuanya berubah menjadi indah saat kami sadar mulai tak sehat dalam berteman. Ada ikatan batin yang tak pernah kami sadari darimana munculnya. Inilah yang menumbuhkan kuncup-kuncup itu menjadi mekar. Menguak cakrawala. Hingga sekarang aku berada disini. Di sisi sosok yang tak pernah aku pungkiri keberadaanya dalam ruangan hati. Telah singgah, menjadi penghuninya yang tak pernah aku minta, juga tak pernah tahu kapan datangnya. Tapi, segalanya menjadi berbeda sekarang. Suasana, rasa, semuanya telah berganti. Bukan lagi masa lalu, kemarin, tapi hari ini. Ia kurasakan menjadi orang lain dalam dirinya. Tak pernah aku mengenalnya seperti ini. Dingin, beku, seolah tak pernah mengenaliku sebagai hati yang selama ini menemani hatinya.

“Cuma itukah motivasimu untuk pergi?”
Diam. Tak ada kata. Matanya menatap jauh, kosong.
“Kau masih berharap pada Widy kan?”
“Bukan hakmu menanyakan hal itu!”
“El…El aku sudah lama mengenalmu. Tak ada ruang lagi bagimu untuk bersembunyi dariku, juga perasaanmu.”
“Aku tak mau menjawabnya.”
“Karena aku tahu jawabanmu?”
“Kenapa juga kau tanyakan jika sudah tahu, basi tau gak?”
“Memastikan jawaban itu keluar dari bibirmu dan telingaku mendengarnya sendiri.”
“Apa untungnya bagimu?”
“Kadang aku tak percaya dengan apa yang kurasakan, dan aku berharap apa yang menjadi jawabanku bukanlah jawabanmu.”
“Jika iya…?”
“Kau tak akan pernah tahu betapa sakitnya aku. Kau biarkan aku masuk dalam kehidupanmu, kau berikan harapan, lalu kau pergi setelah kau menguasai hatiku. Sempurna...sempurna ,El. Kau tak pernah mencoba merasakan jika ada di posisiku.”

Ia menatapku nanar, tatapan yang kurasakan menusuk jantung. Meruntuhkan adamku yang memang rapuh.
“Kamu terlalu baik Al, terlalu baik untukku. Tak pantas aku ada di dekatmu. Kamu pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dariku.”
“Jika kamu adalah wanita terpilih dalam hatiku?”
“Yakinlah bahwa pilihanmu itu salah, yakinkanlah, aku bukan orang yang tepat untuk mengisi hatimu, sekarang... juga seterusnya.”
“Aku gak tahu jalan pikiranmu El…”
“Gak ada yang bisa ngerti aku Al, selain…”
“Selain Widy kan??”
“Jangan penuhi prasangkamu dengan nama itu. Gak baik berprasangka”

Aku masih ingin melanjutkan kata-kata. Mengeluarkan segala rasa yang menyesakkan dada.
“Aku harus segera berangkat Al, ntar aku tertinggal bus jika terus disini.”

Aku menunggunya berkemas dengan dengan suasana hati yang tak mampu terlukis kata. Tak lama ia keluar dengan tas yang sudah penuh menghias kedua tangannya. Berpisah di depan mata sungguh menyesakkan bagiku, tapi tidak baginya. Kukucek mata memastikan momen ini tak pernah terjadi dalam nyataku. Aku masih ingin berkata-kata, tapi bibirku ngilu seakan ada yang menahan kata-kata hingga tak mampu keluar. Begitulah, waktu tak memberikan kesempatan lagi berlama-lama dengannya.

Dia berangkat, tanpa menoleh sekalipun kepadaku. Seorang sarjana lulusan universitas ternama di Indonesia, belum mendapatkan pekerjaan. Klasik memang, dan aku bisa memahaminya. Jakarta adalah tujuannya. Ia berpikir dengan pergi ke ibukota, lebih mendekatkannya dengan pekerjaan. Tak salah memang, aku pun tak bisa menyalahkannya dalam urusan ini. Tapi, yang tak bisa aku pahami adalah caranya. Mungkin juga waktunya. Cara dia meninggalkanku. Waktu yang tak tepat, dimana harapanku yang sedang subur-suburnya tumbuh, tetapi harus kandas tergerus masa. Masa yang retak. Semua habis menjadi abu. Hanya tersisa dalam kepala.

***

Dan sesuatu yang menjadi pangkal kekhawatiranku terjadilah. Kau mengayun langkah menggapai cita-cita. Begitu jauh. Begitu lama. Kau tinggalkan kota kecil ini dan aku dengan setumpuk kenangan yang tak bisa dibiarkan terkubur di tanah mati. Betapa sepi hari-hariku. Aku hanya mampu menyusun rindu demi rindu di laci, dan menghitungnya setiap waktu. Kabar tentangmu pun menghilang ditelan waktu, seiring dengan kepergianmu.

Hatiku remuk ditikam dendam. Menumbuh benci. Luka pada hati bertambah parah. Berdarah dan bernanah menjadi danau dendam tak sudah. Tenang di permukaan, menyimpan pusar arus yang deras di dalamnya.

Demikianlah kini, waktu berotasi. Tiga tahun lipatan kenangan itu telah usang, tapi tak pernah luntur. Ia mutiara dalam lumpur. Sungguh, aku tak berharap begitu besar agar kau bisa mengingatnya. Jika kini aku menguraskan semua tenaga dan pikiran menuliskan semua sisa-sisa kenangan ini, tiada lebih karena sesuatu. Sering hadir di hadapanku untuk mengingat semua kenangan. Walau aku hanya akan memungut sepi bersama iri dan risih yang merajuk. Ah apalah definisi kenangan.

Lelah membawa lelap. Aku berusaha menidurkan kenangan. Tak benar-benar tidur memang. Hingga suatu sore yang masai kudengar akan berita kepulanganmu. Terlalu naif untuk tidak melarutkanku dalam bahagia, bahagia yang sederhana. Bukan untuk menanyakan rindu, mengais asa, atau cinta yang sempat kita rasakan bersama. Ahh...terlalu tinggi harapan untuk itu.

Aku menunggu kabar kepulanganmu, darimu sendiri. Bukan mendengar dari orang lain. Terkadang aku berharap bahwa kau masih mengingatku, setidaknya sebagai hati yang pernah kau sakiti. Berhari, berminggu tak juga aku terima kabarmu. Aku resah, lelah dalam harap. Hingga kuberanikan diri untuk mencari jawab atas resah itu. Aku mendatangimu. Tak pernah aku berharap banyak. Menemuimu, dan tahu tentangmu itu sudah cukup bagiku. Dengan menyisihkan segala rasa batin, aku berharap tampak tegar di hadapanmu. Karena aku telah pikun untuk mengungkapkan betapa sederhananya cintaku padamu.

Gurar. Pada waktu yang telah kupilih untuk menemuimu ternyata hanya harap kosong belaka. Kau tak ada, bahkan seisi penghuni rumah pun satu mulut mengatakan tak menahu. Aku lunglai. Bahkan untuk mendeskripsikan rasa yang kualami saat itu, aku tak mampu. Kau tak hanya terlalu jauh untuk kurengkuh. Tapi lebih dari itu. Untuk sekadar menanyakan kabarmu saja aku tak mampu.

Dari kabar yang beredar kau pulang untuk menikah. Entah dengan lelaki mana. Aku buta untuk mengenalimu sekarang ini. Aku berharap bahwa kabar itu hanya fiktif. Dalam palung rasa, aku masih menyangkalnya. Tapi jika benar adanya, apa lagi yang mau dikata. Kau kembali hadir, dekat, namun sebagai penggugah kenangan menjadi gerimis di senja buta, hinggap di jendela. Tapi rasa sakit di hatiku siapa yang tahu? Apa kau juga merasakannya? Ah...kau membuat gerimis setiap senja berlabuh disini.

Sumbu sejarah dalam kepalaku akan menyala api sebentuk rindu yang hangat. Kadang menggugah pipi dengan tetes sepi yang menetes dari mataku. Kini rindu itu telah basah dalam gerimis senja yang membuncar. Serupa gerimis yang hingga di jendela. Benar adanya, pesta untuk hari bahagiamu telah dipersiapkan. Rencana pernikahan agung bukan lagi wacana. Aku pasrah dengan harapan. Aku telah kalah. Namun, pada sisi hati yang lain ada setetes kebanggaan menetes dalam sisa-sisa umurku. Mengenalimu adalah anugrah bagiku. Tak selayaknya memang aku berharap lebih.

Sejujurnya aku telah lelah dengan harap, tapi kupikir tak salah masih punya harapan sebagi petanda bahwa aku hidup. Jika kau masih mengenaliku atau mengundangku di pesta bahagiamu, temui aku. Semoga kau bisa. Dan tak terasa malu untuk mengungkap maaf. Sebab aku tahu, kau sebenarnya tak begitu jujur pada dirimu sendiri. Penipu!

***SELESAI***

Selasa, 07 September 2010

Analisis Film "WALL - E" Mengacu Pada Artificial Intelligence


Definisi Artificial Intelligence

Definisi Artificial Intellegence secara mendasar adalah proses ketika peralatan mekanik dapat melakukan suatu perbuatan atau kejadian dengan menggunakan pemikiran atau kecerdasan layaknya manusia. Pada dasarnya, perkembangan komputer yang sangat pesat berperan besar dalam perkembangan Artificial Intelligence. Seperti penanaman micro chip pada robot yang mengontrol perilaku dan pemikiran robot tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan komputer berbanding lurus dengan perkembangan Artificial Intelligence.

Sejarah Artificial Intelligence

Pada awal perkembanganya, Artificial Intelligence bermula dari munculnya Game, seperti kecerdasan pemrosesan pada game komputer. Bermula dari game, kemudian dikembangan pada program aplikasi pada komputer seperti pemecahan rumus matematika, grafis, serta berkembangnya robot seperti yang terjadi saat ini. Kecerdasan robot saat ini bisa dikatakan hampir menyerupai manusia. Bahkan, peran robot sudah banyak yang dapat menggantikan pekerjaan manusia dengan program yang ditanamkan.

Sinopsis

Wall-E adalah nama sebuah robot yang bertugas untuk membersihkan sampah. Wall-E menjalani hari-harinya di bumi dengan mengumpulkan sampah. Ia memiliki semacam alat press yang ada di dadanya untuk mengepres sampah-sampah besi menjadi sebuah kotak yang kemudian ia tata membentuk gedung yang menjulang tinggi. Suatu hari di tengah kesibukannya membersihkan sampah, ia melihat sebuah pesawat besar yang mendarat. Ia memperhatikan pesawat tersebut karena benda tersebut terasa asing baginya.
Selang beberapa saat, pesawat tersebut mendaratkan sebuah robot yang lebih canggih dari Wall-E. Robot tersebut bernama Eve. Eve membawa misi untuk menemukan kehidupan di bumi. Namun misinya selalu terganggu karena kehadiran Wall-E yang selalu mengikuti setiap kegiatanya karena merasa tertarik pada Eve. Pada awalnya Eve tidak tertarik dengan Wall-E, namun lama kelamaan Eve mulai menaruh perhatian pada Wall-E. Terlebih ketika Eve ditahan, Wall-E selalu memberi perhatian padanya.
Hal ini bermula ketika Eve menemukan tumbuhan yang dicarinya sebagai misi dari pendaratanya di bumi. Setelah memenuhi misinya, Eve dibekukan, kemudian dijemput oleh pesawat yang tadi mendaratkanya. Merasa tidak ingin kehilangan Eve, Wall-E menyelinap masuk ke dalam pesawat itu untuk menemukan Eve. Namun perjalananya tidak mudah, Wall-E menemukan lingkungan yang sama sekali berbeda di dalam pesawat tersebut. Semua fasilitas yang ada di pesawat tersebut sangat canggih, bahkan manusia yang ada di dalamnya tidak mampu berdiri, apalagi berjalan karena terbiasa dimanjakan oleh teknologi.Namun misi dari Eve ternyata hanyalah sebuah tipuan, tumbuhan yang ditemukan Eve justru dimusnahkan untuk mencegah manusia kembali ke bumi.
Di sini Wall-E membantu Eve untuk menyelesikan misinya, mendapatkan kembali tumbuhan yang dibuang oleh automatic pilot yang menginginkan tumbuhan tersebut dimusnahkan. Kemudian tumbuhan yang diketemukan oleh Eve dan Wall-E dimasukkan pada kolam yang sebenarnya merupakan tempat dari final mission. Setelah itu, pesawat mendarat di bumi dan semua awak merasa senang karena dapat kembali lagi ke bumi dengan kehidupan yang baru, sedangkan Eve dn Wall-E saling mencintai dan menjadi pasangan.

Analisa

Wall-e dan Eve merupakan robot yang memiliki perbuatan dan pola pikir layaknya manusia. Mereka mampu memecahkan masalah dengan pikiran mereka seperti manusia. Meskipun mereka diciptakan dengan membawa misi masing-masing, namun mereka dapat melakukan atau berpikir hal-hal yang diluar misi mereka. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dari Artificial Intelligence yang mengatakan bahwa sebuah alat mekanik yang dapat melakukan serta berpikir layaknya kecerdasan manusia. Bahkan lebih dari itu, Wall-E dan Eve juga memiliki perasaan yang biasanya hanya ada pada manusia. Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana Wall-E menyayangi Eve, begitupun sebaliknya. Wall-E menunjukkan perasaanya dengan perbutan-perbuatan yang terkesan takut kehilangan Eve, serta tidak ingin hal buruk terjadi pada Eve. Meskipun secara fisik mereka masih seperti robot biasa dan terkesan sulit untuk berbicara, namun pola pikir, perasaan serta hal-hal yang dilakukanya sejajar dengan kecerdasan manusia. Wall-E dan Eve sama-sama tidak pernah mengungkapkan dengan perkataan, namun semua yang mereka tunjukkan dengan perbuatan mereka sama dengan apa yang dilakukan oleh manusia.

*deecka_83@yahoo.co.id*

Senin, 06 September 2010

Mencari Tuhan

Tiba jua langkahku di peradaban sebuah kota.
Orang-orang sibuk mencari Tuhan.
Di bar-bar, bursa-bursa perempuan, bank-bank, juga perkantoran.
"Dimana Tuhan, dimana?" Mereka berteriak.
"Disini, Tuhan disni" Seorang birokrat menjawab sambil menguap.
Ketika orang-orang berdatangan yang teronggok cuma berhala kekuasaan.

Di kota peradaban,orang-orang makin sibuk mencari Tuhan, memanggil-manggil.
"Tuhan, dimana kau Tuhan?"

"Tuhan disini!" Jawab suara hotel dan kelab malam.
Ketika orang-orang berdatangan yang terhampar cuma kelamin-kelamin rindu bersepadan.

Di kota peradaban orang-orang mencari Tuhan. Hilir mudik di jalan. Berebut keluar masuk diskotik dan pasar swalayan. Orang-orang lupa, Tuhan dalam hati sendiri. Tak pernah pergi.
Namun Tuhan telah menjelma menjadi uang,bagi sebagian orang.

*deecka_83@yahoo.co.id*