Selasa, 11 Januari 2011

Secuil Waktu, Sekarung Resah

Andika Widaswara

Detak... detik...
Sore. Sebuah cafe. Secangkir kopi. Menunggu.
Setengah jam berlalu. Secangkir kopi blm jua berteman. Pun denganku. Kubuka lagi sms yg dia kirim di pagi buta. Bahkan sebelum aku membuka mata. Tak banyak memang. Singkat juga padat.

"Oke, tunggu aku jam 15.30."

Terkadang sesuatu berjalan tak adil. Aku mengirim 22 sms hanya utk jawaban itu. Pun sekarang ini. Masih harus menunggu. Menghibur diri dengan menyeduh kopi yang tinggal separuh. Menghabiskan berbatang-batang rokok dan membuang asapnya jauh-jauh. Sangat ingin moment ini segera berlalu.

16.05.
Gerimis. Perempuan. Setengah berlari.

"Sory telat, udah lama nunggu?"
Klise. Seolah biasa, tanpa salah. Aku hapal dengan kalimat itu. Mestinya aku marah. Tapi untuk urusan satu ini banyak orang yang rela diperlakukan tak adil. Setengah jam lebih aku memaki-maki dia serta mengumpat-umpat pada diriku sendiri. Hilang. Seperti gerimis yang langsung menghapus jejak kaki. Menggantinya dengan air. Luluh.

Dengan segenap pengantar lengkap ia uraikan keterlambatannya. Persis calon anggota dewan yang berpidato di depan khalayak untuk menjual diri. Senyum yang selalu mengembang. Aku benci. Benci pada diriku yang masih menyajikan senyum. Bahkan senyum terindah yang pernah kumiliki. Menuruti perasaan terkadang justru menghasilkan hal-hal yang bodoh.

Untuk perempuan yang datang terlambat atas janjinya sendiri inikah aku memuja? Entahlah... banyak yang telah terjadi tanpa bisa diterima logika. Juga sekarang ini. Sosok yang kini ada di depanku. Menemuinya di alam nyata adalah hal langka, selangka hasil yang dikirim TKI kepada keluarganya di desa. Maka pertemuan pun menjadi sangat berarti bagiku. Tapi dia? Apakah juga merasakan hal yang sama? Jika harus jujur, itu bukan pertanyaan yang sulit bagiku. Tapi entahlah, aku mencoba membuat suatu pengingkaran atas jawabanku sendiri.

"Ini mbak pesanannya, masnya mau pesan lagi? Ato mau nambah kopi?"
"Boleh-boleh, mocca aja... sama roti bakarnya Bro."
"Oke mas ditunggu."
"Seep, gak pake lama ya."
"Wokey Boss."

Demikianlah, suasana kaku segera menghampiri selepas pelayan berlalu. Kami terjebak pada keadaan "susahnya mengawali sesuatu". Kuberanikan untuk mengambil inisiatif. Pertanyaan tentang kabar, rutinitas, juga aktivitas terakhir menjadi menu pembuka. Itupun kulakukan tanpa memandang matanya, juga jemari tangan yang tak henti-hentinya menari di atas keypad handphone, sekadar menyibukkan diri. Aku berharap tak kelihatan cukup gugup di hadapannya.

"Roti bakar siap dinikmati Bos."
"Wah.. hampir saja aku panggil massa untuk demo jika 5 lagi menit pesananku belum sampai."
"Hahaha... Bos bisa aja. Silakan Bos."
"Oke-oke, tengkyu..."

Bunyi langkah kaki pelayan semakin melamat. Lalu hilang ditelan bunyi gerimis.
"Oh ya, angin apa yang tiba-tiba membawamu berada disini Dev? Rasanya orang waras pun akan gila mendadak jika hanya untuk segelas Lemon Tea. Hehe..."
"Hahaha... iya ya, mungkin hatiku juga mengatakan aku gila bisa berada disini denganmu. Hehehe..."
Kami tertawa. Renyah. Susana hidup. Aku telah mengalahkan diriku untuk bisa menguasainya, menguasai keadaan.

"Aku pengen cerita..."
"Mendongeng juga boleh kok."
"Sayangnya aku bukan pendongeng yang baik."
"Jika aku sampai tertidur, kamu dinyatakan lulus sebagai pendongeng, dan berhak mendapatkan hak sesuai titel yang kau peroleh. Hehehe... Ngomong aja Dev, aku siap jadi pendengar yang baik kok."
"Yakin?"
"Seyakin pendapat orang-orang bahwa kau cantik."
"Gombal..."

Sejurus mukanya mendongak. Sekilas ada perubahan dalam rautnya. Mendung di luar perlahan menyapa wajah. Lalu tangannya sibuk mengaduk-aduk minuman yg ia pesan. Sesekali melempar senyum. Entahlah, aku malah menikmatinya. Menikmatinya sebagai kecemberutan. Sebagai mendung. Sebagai gerimis. Ah... penguasa hati selalu tampak sempurna.

Tik tak tik tak. Dengus suara nafas panjang. Menunggu. Gerimis masih ramai. Sejujurnya aku menyukai ini. Gerimis akan menahanmu lebih lama. Menahan kita. Betapa lama aku dengan harap ini.

"Pernahkah kau mendengar tentang seorang perempuan yang jatuh hati pada lelaki?"
"Wah itu sech barang murah di pasaran, seribu dapet tiga."
"Pernahkah kau tahu seorang perempuan yang menytakan cintanya pada lelaki pujaannya?"
"Nah, semalam barusan Ibuku bilang kalau mencintai Bapak dengan tulus, itu terjadi di depanku, tanpa sensor!"
"Wid, please dech... aku serius!"
"Oke-oke, sory-sory. Kali ini aku serius."

Sejenak diam. Rupanya ia sedikit marah. Sewot. Tapi apapun yang ia rasakan, ia tampakkan di depanku, bagiku adalah keindahan. Aku menikmatinya dalam keadaan apapun. Senyum, kerut, cemberut, marah, tawa selalu tampak sempurna.

"Reno, kenalkah kau dengan nama itu?"
"Hmmm... Gak asing sih, kalo aku gak salah nebak ia ada dalam friend listmu. Dan kau tak jarang menulis koment di statusnya."
"Hei... kau mengawasiku?"
"Hmmmfff... 2 tahun aku bekerja untuk CIA, Dev. Mungkin kau baru tahu."
"Hahaha... bisa aja."

Aku sempat menangkap senyumnya. Pemandangan langka nan indah. Lebih indah dari landscape yang disajikan alam sore ini.

"Entahlah... Reno telah menyita sebagian besar dari pikiranku. Mengajak lebih dari separuh waktuku untuk terus memikirkannya. Semakin kutekan, rasa itu malah semakin ada. Aku tak pernah seperti ini kepada lelaki."

Berhenti. Tanganya meraih gelas minuman yang ia pesan, memegangnya dengan mesra, membibingnya menyentuh bibir, lalu menenggak isinya. Mungkin ia merasa gerah meski gerimis. Mungkin pula tenggorokanya kering dilalui lalu lintas kata yang tak seperti biasanya. Atau dada yang memanas karena ceritanya, dan ia basuh dengan mengguyurkan minuman dingin itu, sambil berharap aku tak berpikir ke arah sana. Ah, harusnya aku tak berada pada posisi menebak-nebak. Bisa-bisa tukang ramal akan kehilangan mata pencahariannya kalau aku teruskan.

"Aku berada pada titik dimana seorang wanita menyukai lawan jenisnya. Agak terlambat memang. Tapi kini aku tahu rasanya memuja, mengharap, sakit, karena seorang lelaki. Aku baru merasakannya kini."
"Kenapa tak kau ungkapkan?"
"Aku wanita Wid, mana mungkin aku bicara? Ya kalo diterima? Kalo gak? Mau ditaruh dimana mukaku?"

Tak mau aku menimpali. Jika saja ia tahu aku juga merasakan hal yang sama kepadanya. Tak kurang dari apa yang telah diceritakannya, bahkan mungkin lebih. Ia tersiksa dengan keadaanya. Mencintai tanpa bisa mengungkapkan. Mengagumi tanpa bisa mengatakan. Aku? Mencintai orang yang mencintai orang lain. Mengejar orang yang mengejar orang lain. Parahnya orang tersebut malah mencurahkan perasaan kepada pujaanya kepadaku. Berada pada posisi dipercayai karena dicurhati, tapi juga tak bisa mengabaikan perasaan hati.

"Dev, panah tak akan menemui sasaran jika tak pernah dilepas dari busurnya, setajam apapun mata panahnya. Akan lebih baik kau katakan perasaanmu daripada tidak sama sekali. Ingat, jangan ada penyesalan di kemudian hari. Allah sangat membenci penyesalan."
"Wid, apa lelaki tak peka pada perlambang sech? Aku pikir dengan sering koment di statusnya, sms dia, kirim salam itu udah nunjukin kalau aku suka ma Reno."
"Ada banyak tipe lelaki Dev, mungkin bagi sebagian orang itu sudah mewakili apa yang ada dalam perasaanmu. Tapi sebagian yang lain?"

Ia diam. Jari telunjuknya diletakkan di mulut. Aku pun memilih hal yang sama. Diam. Atau lebih tepatnya berusaha untuk diam. Menutupi gemuruh dalam dadaku biar tak sempat ia dengarkan. Pula perang hebat dalam hatiku tak pernah ia ketahui. Dalam posisi ini, sebenarnya bisa saja aku katakan adalah hal tabu jika perempuan mengungkapkan cintanya pada lelaki. Terlebih dia. Seorang yang semasa kecil dan remajanya dihabiskan di pondok pesantren. Melalui sebagian besar waktunya dengan membaca dan mendengar ayat-ayat Allah. Tak banyak bergaul dengan remaja sebayanya yang sibuk keluar masuk salon, memborong barang-barang new arrival di mall. Setiap bulan berganti gadget, bahkan sudah indent sebelum barang beredar di pasaran. Tapi tidak.

"Dev... dalam mencapai tujuan selalu ada dua opsi, berhasil atau gagal. Kita selalu siap untuk berhasil, tapi untuk gagal?"
"Aku siap jika memang aku harus gagal..."
"Syukurlah... akan lebih berterima di hati kita jika gagal tapi kita telah berusaha. Ada kepuasan tersendiri bagi batin kita. Daripada gagal tanpa usaha? Apa kebanggaan kita? Hanya melalui bergulirnya hari dengan penyesalan. Yang tertinggal di pikiran hanya kata-kata misalkan..., andaikan..., seandainya... ahh."
"Lalu aku kudu gimana?"
"Selamat berjuang Dev. Aku tak mau mengulang penjelasan lagi. Aku tak digaji untuk mengulang materi sampe tuntas hehehe..."
"Yeeee... tapi aku bisa gak ya??"
"Tuhan ada dalam pikiran kita, Dev. So...?"
"Hehe... iya sech. Coba kalo kamu cewek. Trus ada di posisiku. Hayooo...."
"Takdirku adalah sebagai laki-laki hehehe..."

17.30
Petang menjelang. Di luar mendung masih menggumpal. Namun tak kutemui lagi di matanya, di rautnya. Ia seperti baru saja mendapat pencerahan, itu pendapatku. Semoga saja benar adanya. Gerimis tak lagi ramai. Namun masih sesekali jatuh. Gerimis yang deras justru jatuh merinai di pelataran hatiku. Aku bangga, sekaligus kecewa. Merasa berguna, sekaligus terbuang. Menjadi dewasa, sekaligus kerdil. Andai ia tahu, aku tak perlu menjadi cewek untuk merasakan yang ia rasakan. Tak perlu menjadi dirinya untuk berada di posisinya. Dan itu akan seterusnya menjadi kebisuan. Tanpa ungkapan. Sebuah ironi.

***SELESAI***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar