Selasa, 11 Januari 2011

Asa Sederhana

Andika Widaswara

Aku menulis sisa-sisa dari hidup yang pernah terbingkai bersamamu. Bingkai yang kecil. Kecil sekali. Tak patut disebut sebagai sejarah bagi siapa saja. Tak pernah aku mengira jalan hidupku yang seperti ini. Aku tak sempat memilih, bahkan tak ada lagi pilihan bagiku. Semuanya terjadi begitu saja. Seperti angin, menderu kala ingin, hilang tak berbekas setelah berlalu. Cinta bagiku adalah barang antik, pemantik. Aku tak kuasa menahannya sendiri. Ruangan dada terasa sesak oleh segala rasa yang berkecamuk.

***

Pagi. Matahari belum meninggi. Sinarnya masih lembut menyentuh pori. Daun-daun bergoyang pelan mengikuti irama angin. Orang-orang sibuk berlalu lalang, entah kemana. Beraktifitas mungkin, karena pagi identik dengan aktifitas. Tetapi tidak denganku. Di sebuah beranda kuakrabi wajah yang senantiasa mengganggu ruang pikir, selalu datang dalam setiap sedu sedan, juga tawa riang. Wajah lembut, mata sayu, juga rambut jatuh yang terikat penjepit di atas bahu.

“Kamu jadi berangkat, El?”
“Yap....”
“Sudah kamu pikirkan keputusanmu itu?”
“Tak mungkin aku memutuskan sesuatu tanpa melalui pemikiran. Aku harus merubah nasib. Tak bisa aku bertahan terus dalam keadaan ini.”
”Lalu…?” Sergahku, tak sabar menunggu kelanjutan kata yang keluar dari bibir mungilnya.
“Lalu apa?”
“Bagaimana dengan aku?”
“Duniamu tetap terlalui tanpa harus ada aku yang selalu ada di dekatmu kan?
”Lalu dengan cinta kita?”
”Jangan terlalu berharap padaku Al, serahkan saja pada yang mengatur hidup.”
”Apa maksudmu, El?”
”Cinta? Ah...prioritas kesekian Al. Kehidupan terus berjalan, dan kita harus selalu mengikuti, kalau tidak ingin tertinggal olehnya.”
“Bagaimana dengan harapanku yang sedang mekar-mekarnya tumbuh? Seperti daun yang masih menguncup, menghijau. Akankah kau biarkan terpenggal dari tangkainya?”

Tik...tak...tik...tak...detik... detak... sejenak diam, aku tak sabar.
“Jawab El! Kau tak cukup hanya diam!” Aku berseru
“Aku tak melihatmu sebagai harapan, masa depan. Begitulah hidup dan biarkan mengalir seperti air, hingga kita sampai pada muara. Bukankah tak semua harapan menjadi nyata? Kita hanya bisa berencana Al.”
“Kau tega meninggalkan aku, cinta, juga harapan yang telah mengakar dalam hatiku?”
“Al, jangan memandang masalah ini hanya dari sudut pandangmu. Mengertilah aku, please!”
“Bagaimana kamu minta aku ngertiin kamu, sedang kamu…?”
“Al…sampai sekarang masih menganggur, luntang-luntung. Mana tanggung jawabku pada pada ibu yang telah susah payah mengkuliahkanku, aku malu padanya juga pada tetanggaku….”

Sejurus diam. Tak ada percakapan lagi. Sibuk melawan perang yang telah terjadi di dalam hati masing-masing. Pikiranku melayang, mengeja serpihan-serpihan kenangan yang menjadi asal muasal perkenalan kami.

***

Malam belum sepenuhnya lindap. Gerimis merintik. Gadis penjaga counter. Ya…aku mengenalnya ketika pulsaku habis saat melintas di depan rumahnya. Awalnya hanya percakapan biasa. Percakapan yang biasa dilakukan seorang penjual pulsa dengan pembeli. Gerimis telah menahanku lebih lama, hingga kami bertukar cerita. Entahlah, aku mulai menikmati matanya, senyumnya, setiap kata yang keluar dari bibirnya, juga segala yang ada dalam dirinya. Percakapan kami pun berubah menjadi renyah. Ramai, dalam gelap malam yang semula telah terbeli oleh derai gerimis. Kami tertawa, hingga suara kami berhasil mengalahkan suara gerimis. Tak pernah terbayangkan, dari pertemuan itu kami menjadi akrab. Dari saling cerita biasa, mencurahkan segala rasa penat di dada, mengeluh tentang hidup, juga tentang rasa hati yang tak bisa dipungkiri. Merajut rasa dalam gejolak remaja yang malu-malu.

Semuanya berubah menjadi indah saat kami sadar mulai tak sehat dalam berteman. Ada ikatan batin yang tak pernah kami sadari darimana munculnya. Inilah yang menumbuhkan kuncup-kuncup itu menjadi mekar. Menguak cakrawala. Hingga sekarang aku berada disini. Di sisi sosok yang tak pernah aku pungkiri keberadaanya dalam ruangan hati. Telah singgah, menjadi penghuninya yang tak pernah aku minta, juga tak pernah tahu kapan datangnya. Tapi, segalanya menjadi berbeda sekarang. Suasana, rasa, semuanya telah berganti. Bukan lagi masa lalu, kemarin, tapi hari ini. Ia kurasakan menjadi orang lain dalam dirinya. Tak pernah aku mengenalnya seperti ini. Dingin, beku, seolah tak pernah mengenaliku sebagai hati yang selama ini menemani hatinya.

“Cuma itukah motivasimu untuk pergi?”
Diam. Tak ada kata. Matanya menatap jauh, kosong.
“Kau masih berharap pada Widy kan?”
“Bukan hakmu menanyakan hal itu!”
“El…El aku sudah lama mengenalmu. Tak ada ruang lagi bagimu untuk bersembunyi dariku, juga perasaanmu.”
“Aku tak mau menjawabnya.”
“Karena aku tahu jawabanmu?”
“Kenapa juga kau tanyakan jika sudah tahu, basi tau gak?”
“Memastikan jawaban itu keluar dari bibirmu dan telingaku mendengarnya sendiri.”
“Apa untungnya bagimu?”
“Kadang aku tak percaya dengan apa yang kurasakan, dan aku berharap apa yang menjadi jawabanku bukanlah jawabanmu.”
“Jika iya…?”
“Kau tak akan pernah tahu betapa sakitnya aku. Kau biarkan aku masuk dalam kehidupanmu, kau berikan harapan, lalu kau pergi setelah kau menguasai hatiku. Sempurna...sempurna ,El. Kau tak pernah mencoba merasakan jika ada di posisiku.”

Ia menatapku nanar, tatapan yang kurasakan menusuk jantung. Meruntuhkan adamku yang memang rapuh.
“Kamu terlalu baik Al, terlalu baik untukku. Tak pantas aku ada di dekatmu. Kamu pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dariku.”
“Jika kamu adalah wanita terpilih dalam hatiku?”
“Yakinlah bahwa pilihanmu itu salah, yakinkanlah, aku bukan orang yang tepat untuk mengisi hatimu, sekarang... juga seterusnya.”
“Aku gak tahu jalan pikiranmu El…”
“Gak ada yang bisa ngerti aku Al, selain…”
“Selain Widy kan??”
“Jangan penuhi prasangkamu dengan nama itu. Gak baik berprasangka”

Aku masih ingin melanjutkan kata-kata. Mengeluarkan segala rasa yang menyesakkan dada.
“Aku harus segera berangkat Al, ntar aku tertinggal bus jika terus disini.”

Aku menunggunya berkemas dengan dengan suasana hati yang tak mampu terlukis kata. Tak lama ia keluar dengan tas yang sudah penuh menghias kedua tangannya. Berpisah di depan mata sungguh menyesakkan bagiku, tapi tidak baginya. Kukucek mata memastikan momen ini tak pernah terjadi dalam nyataku. Aku masih ingin berkata-kata, tapi bibirku ngilu seakan ada yang menahan kata-kata hingga tak mampu keluar. Begitulah, waktu tak memberikan kesempatan lagi berlama-lama dengannya.

Dia berangkat, tanpa menoleh sekalipun kepadaku. Seorang sarjana lulusan universitas ternama di Indonesia, belum mendapatkan pekerjaan. Klasik memang, dan aku bisa memahaminya. Jakarta adalah tujuannya. Ia berpikir dengan pergi ke ibukota, lebih mendekatkannya dengan pekerjaan. Tak salah memang, aku pun tak bisa menyalahkannya dalam urusan ini. Tapi, yang tak bisa aku pahami adalah caranya. Mungkin juga waktunya. Cara dia meninggalkanku. Waktu yang tak tepat, dimana harapanku yang sedang subur-suburnya tumbuh, tetapi harus kandas tergerus masa. Masa yang retak. Semua habis menjadi abu. Hanya tersisa dalam kepala.

***

Dan sesuatu yang menjadi pangkal kekhawatiranku terjadilah. Kau mengayun langkah menggapai cita-cita. Begitu jauh. Begitu lama. Kau tinggalkan kota kecil ini dan aku dengan setumpuk kenangan yang tak bisa dibiarkan terkubur di tanah mati. Betapa sepi hari-hariku. Aku hanya mampu menyusun rindu demi rindu di laci, dan menghitungnya setiap waktu. Kabar tentangmu pun menghilang ditelan waktu, seiring dengan kepergianmu.

Hatiku remuk ditikam dendam. Menumbuh benci. Luka pada hati bertambah parah. Berdarah dan bernanah menjadi danau dendam tak sudah. Tenang di permukaan, menyimpan pusar arus yang deras di dalamnya.

Demikianlah kini, waktu berotasi. Tiga tahun lipatan kenangan itu telah usang, tapi tak pernah luntur. Ia mutiara dalam lumpur. Sungguh, aku tak berharap begitu besar agar kau bisa mengingatnya. Jika kini aku menguraskan semua tenaga dan pikiran menuliskan semua sisa-sisa kenangan ini, tiada lebih karena sesuatu. Sering hadir di hadapanku untuk mengingat semua kenangan. Walau aku hanya akan memungut sepi bersama iri dan risih yang merajuk. Ah apalah definisi kenangan.

Lelah membawa lelap. Aku berusaha menidurkan kenangan. Tak benar-benar tidur memang. Hingga suatu sore yang masai kudengar akan berita kepulanganmu. Terlalu naif untuk tidak melarutkanku dalam bahagia, bahagia yang sederhana. Bukan untuk menanyakan rindu, mengais asa, atau cinta yang sempat kita rasakan bersama. Ahh...terlalu tinggi harapan untuk itu.

Aku menunggu kabar kepulanganmu, darimu sendiri. Bukan mendengar dari orang lain. Terkadang aku berharap bahwa kau masih mengingatku, setidaknya sebagai hati yang pernah kau sakiti. Berhari, berminggu tak juga aku terima kabarmu. Aku resah, lelah dalam harap. Hingga kuberanikan diri untuk mencari jawab atas resah itu. Aku mendatangimu. Tak pernah aku berharap banyak. Menemuimu, dan tahu tentangmu itu sudah cukup bagiku. Dengan menyisihkan segala rasa batin, aku berharap tampak tegar di hadapanmu. Karena aku telah pikun untuk mengungkapkan betapa sederhananya cintaku padamu.

Gurar. Pada waktu yang telah kupilih untuk menemuimu ternyata hanya harap kosong belaka. Kau tak ada, bahkan seisi penghuni rumah pun satu mulut mengatakan tak menahu. Aku lunglai. Bahkan untuk mendeskripsikan rasa yang kualami saat itu, aku tak mampu. Kau tak hanya terlalu jauh untuk kurengkuh. Tapi lebih dari itu. Untuk sekadar menanyakan kabarmu saja aku tak mampu.

Dari kabar yang beredar kau pulang untuk menikah. Entah dengan lelaki mana. Aku buta untuk mengenalimu sekarang ini. Aku berharap bahwa kabar itu hanya fiktif. Dalam palung rasa, aku masih menyangkalnya. Tapi jika benar adanya, apa lagi yang mau dikata. Kau kembali hadir, dekat, namun sebagai penggugah kenangan menjadi gerimis di senja buta, hinggap di jendela. Tapi rasa sakit di hatiku siapa yang tahu? Apa kau juga merasakannya? Ah...kau membuat gerimis setiap senja berlabuh disini.

Sumbu sejarah dalam kepalaku akan menyala api sebentuk rindu yang hangat. Kadang menggugah pipi dengan tetes sepi yang menetes dari mataku. Kini rindu itu telah basah dalam gerimis senja yang membuncar. Serupa gerimis yang hingga di jendela. Benar adanya, pesta untuk hari bahagiamu telah dipersiapkan. Rencana pernikahan agung bukan lagi wacana. Aku pasrah dengan harapan. Aku telah kalah. Namun, pada sisi hati yang lain ada setetes kebanggaan menetes dalam sisa-sisa umurku. Mengenalimu adalah anugrah bagiku. Tak selayaknya memang aku berharap lebih.

Sejujurnya aku telah lelah dengan harap, tapi kupikir tak salah masih punya harapan sebagi petanda bahwa aku hidup. Jika kau masih mengenaliku atau mengundangku di pesta bahagiamu, temui aku. Semoga kau bisa. Dan tak terasa malu untuk mengungkap maaf. Sebab aku tahu, kau sebenarnya tak begitu jujur pada dirimu sendiri. Penipu!

***SELESAI***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar