Rabu, 23 Juni 2010

Bahasa Diam

"Terkadang bahasa diam lebih menggetarkan dari kata-kata."

Sore. Seorang anak. Wajah putih. Mata elang. Rambut agak sedikit memerah. Seperti juga anak kebanyakan. Dia bermain, riang, berlari, bernyanyi dengan teman sebayanya. Masa yang merdeka. Tak ada duka. Belum mengenal luka.
Lalu terjadi satu keributan kecil. Berebut mainan mungkin. Salah satunya menangis. Semakin mengeras, meraung. Permainan pun berhenti. Beberapa berlari menghindar. Anak mata elang terdiam. Teman-temannya sibuk menunjuk-nunjuk telunjuk padanya. Dia yang menjadi pesakitan. Mereka beranggapan dari dialah asal tangisan itu.

"Hai, lihat! Karena ulahmu si Noni menangis. Nakal."
"Gak pernah diajari Bapakmu seh."

Si Mata Elang diam. Tak ada pembelaan. Teman-teman lain ikut-ikutan menunjuk-nunjukkan jemarinya. Satu fokus. Satu titik: Si Mata Elang.

Tak tahan ia berlari, menghambur ke ibunya yang sejak tadi sibuk memotongi kayu bakar tak jauh dari tempat ia bermain. Ia selalu jadi pesakitan, tiap kali ada yang menangis kala bermain. Ia sudah biasa. Tapi setiap mendengar kata "Bapak" ada luka yang teramat dalam terbesit dari lakunya. Ia satu dari kesekian anak tanpa bapak yang lahir di negeri ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar